Sebagai firma hukum terkenal di Indonesia, Queen Law Firm menangani berbagai macam perkara, antara lain perkara komersial, perkara perdata, perkara pidana, dan lain sebagainya. Diantaranya, satu jenis kasus yang sedang naik dalam beberapa tahun terakhir, yaitu gugatan perceraian transnasional. Dalam kasus tersebut, mayoritas gugatan perceraian diajukan oleh perempuan asing terhadap laki-laki Indonesia. Alasan perceraian sangat beragam, tentu saja ini soal moralitas dan tidak akan kita bahas di sini. Saya terutama akan membahas beberapa masalah hukum terkait gugatan perceraian yang dilakukan oleh perempuan asing terhadap laki-laki Indonesia.
Untuk litigasi dalam kasus tersebut, tuntutan utamanya meliputi tiga hal, yaitu: perceraian, hak asuh anak, dan pembagian harta gono-gini.
1. Perceraian
Sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perkawinan itu sakral dan merupakan faktor penting bagi kelangsungan masyarakat manusia. Terlebih lagi, bagi perempuan dalam perkawinan transnasional, dibutuhkan banyak keberanian bagi perempuan untuk meninggalkan tanah air dan keluarga mereka dan memilih untuk hidup di negara yang sama sekali asing dengan laki-laki. Namun, jika perkawinan tidak dapat dilanjutkan karena berbagai alasan, perceraian dapat membawa peluang baru bagi kedua belah pihak.
Berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang Nomor1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
“Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.”
Dengan kata lain, selama perkawinan tidak bisa lagi menjaga kebahagiaan, Anda bisa mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan perceraian bisa dengan alasan apapun, asalkan sesuai dengan fakta dan dapat memberikan bukti dan saksi yang sah untuk alasan tersebut dalam persidangan selanjutnya.
2. Hak Asuh Anak
Bagi yang muslim diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, berbunyi:
“Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. biaya pemelliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Bagi yang non-muslim, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975, berbunyi sebagai berikut:
“Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.”
Berdasarkan Putusan MARI nomor 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003:
“Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu”.
Oleh karena itu, untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun, hak asuh anak secara otomatis akan diberikan kepada ibunya. Namun, jika ibunya memiliki kebiasaan buruk dan hakim berpendapat bahwa pihak perempuan tidak memiliki kemampuan untuk memelihara anak dengan benar, maka hak asuh anak kemungkinan besar akan dijatuhkan kepada pihak ayah. Kami ingin mengingatkan semua wanita asing untuk memperhatikan hal ini. Indonesia adalah negara Muslim, dan hakim membenci wanita alkoholisme, perjudian, dan merokok. Jika perempuan memiliki kebiasaan buruk yang disebutkan di atas dan laki-laki memiliki bukti dan saksi yang cukup, itu akan menjadi hambatan besar bagi perjuangan kami untuk hak asuh anak.
3. Pembagian Harta Gono-gini.
Pasal 53 UU Perkawinan membagi harta dalam perkawinan menjadi tiga macam, yaitu:
“Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri dari sebelum perkawinan. Masing – masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melaukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.
Harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh melalui warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau istri
Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan.”
Harta gono-gini adalah milik bersama suami istri, meskipun hanya suami atau istri yang bekerja. Mengenai waktu pembentukan harta goni-gini, biasanya ditentukan berdasarkan rasionalitas daripada waktu pembentukan sebenarnya. Pada prinsipnya harta gono-gini harus dibagikan secara adil agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara hak suami dan hak istri. Namun, jika salah satu pihak memiliki kesalahan serius dalam perkawinan, atau beban memelihara anak itu berat dan pihak lain tidak mampu membayar tunjangan anak, maka pembagian harta gono-gini akan lebih condong kepada pihak yang tidak bersalah atau pihak yang harus memelihara anak. Bagaimanapun, justice tidak sama dengan fairness.
Perceraian, sebagai akhir perkawinan, tidak hanya menyakiti kedua belah pihak, tetapi juga menyebabkan kerugian besar bagi psikologi anak-anak. Oleh karena itu, siapa pun harus mempertimbangkan dengan cermat sebelum mengambil keputusan perceraian. Tentu saja, jika Anda memilih untuk tetap mempertahankan pernikahan di mana tidak ada kebahagiaan sama sekali demi anak-anak Anda, itu tidak ada artinya, pertengkaran terus-menerus antara suami dan istri hanya akan menyebabkan kerugian terus menerus bagi anak-anak.
Setelah Anda membuat keputusan perceraian, silakan hubungi Queen Law Firm, tidak peduli dilema seperti apa, kami akan menghadapinya bersama dengan Anda.